BAWEAN
PULAU PENDIDIKAN
ANTARA
HARAPAN DAN TANTANGAN
Oleh Himmatusy Syarifah,ST
Bawean adalah pulau yang terletak di Laut Jawa, sekitar 120
kilometer sebelah utara Gresik. Secara administratif, pulau ini termasuk ke
dalam wilayah Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Pasukan VOC menguasai pulau ini
pada tahun 1743. Pulau ini terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sangkapura dan Kecamatan
Tambak. Penduduknya berjumlah sekitar 107.000 jiwa, luas
wilayah ini kurang lebih 197m2
dengan mayoritas suku
Bawean serta perpaduan beberapa suku dari Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi,
dan Sumatra yang
turut mempengaruhi budaya dan bahasanya. Mata pencaharian utama penduduknya
adalah nelayan dan petani serta
pekerja rantauan di Malaysia dan Singapura.
Orang Bawean ada pula yang menetap di Australia dan Vietnam.
Tokoh yang berasal dari pulau ini antara lain Harun
Thohir, Syekh
Zainuddin Bawean al-Makki, Syekh
Muhammad Hasan Asyari al-Baweani al-Basuruani.
Pendidikan
merupakan kunci utama bagi suatu daerah untuk unggul dalam persaingan global.
Pendidikan dianggap sebagai bidang yang paling strategis untuk mewujudukan
kesejahteraan nasional. Sumber Daya Manusia (SDM) yang cerdas dan berkarakter
merupakan prasyarat terbentuknya peradaban yang tinggi. Sebaliknya, SDM yang rendah
akan menghasilkan peradaban yang kurang baik pula.
Membicarakan
pengembangan sistem pendidikan berarti berkaitan dengan seluruh perubahan atau
penyempurnaan atas kebijakan pendidikan yang sifatnya makro sampai dengan
penyempurnaan kurikulum dan proses pembelajaran di sekolah atau lembaga
perguruan tinggi (mikro) yang dilaksanakan oleh guru atau dosen. Artinya
bagaimana upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui
pengembangan sistem pendidikan dan pembelajaran tersebut. Reformasi pendidikan
yang seyogyanya menuntut terjadinya perubahan secara sistemik hanya masih
sebatas seolah-olah. Artinya seolah-olah pendidikan telah dijadikan pilar
primadona, namun pada prakteknya belum terlaksana.
Sampai saat
ini dalam penyelenggaraan pendidikan masih terjadi kecenderungan sebagai
berikut: pertama, memberlakukan peserta didik berstatus sebagai objek,
di mana guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan
indoktrinator. Kedua, materi ajar bersifat subject oriented, dan ketiga,
manajemen pendidikan masih baru dalam transisi dari sentralistik ke
desentralistik. Akibatnya pendidikan mengisolasi diri dari kehidupan real yang
ada di luar sekolah, kurang relevan antara yang diajarkan dengan kebutuhan
dalam perkerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual yang
tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan
berkepribadian. Keempat, proses pembelajaran didominasi oleh tuntutan
untuk menghapalkan dan menguasai pelajaran sebanyak mungkin guna menghadapi
ujian atau tes.
Mutu
pendidikan di Bawean belum mencapai posisi yang baik jika dibandingkan dengan daerah
lain. Padahal sektor ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia yang dibutuhkan untuk membangun daerah. Akibat rendahnya mutu
pendidikan sekarang, sumber daya manusia yang ada kurang memiliki daya saing
pada tingkat dunia. Tentunya jika masalah ini tidak dicarikan solusi
secepatnya, akan memberikan dampak yang lebih besar terhadap sektor-sektor
lainnya.
Demokrasi
pendidikan, keterbukaan, desentralisasi, otonomisasi, dan sebagainya dalam
menyelenggarakan pendidikan secara resmi dan normatif sudah disosialisasikan
secara meluas. Namun kelihatannya, lagi-lagi demokrasi tidak berlaku dalam
masyarakat yang budaya akademiknya masih rendah dan sumber daya manusianya
belum berpendidikan tinggi. Selain itu dalam kenyataannya sistem pendidikan
masih highly centralized dan diskriminatif.
Pemerintah
dengan sangat kuat melaksanakan satu sistem pendidikan nasional lengkap dengan
penyelenggaraan sekolah/madrasah atau perguruan-perguruan tinggi sebagai unit
pelaksanaannya. Semua yang diselenggarakan masyarakat harus mengikutinya
sebagai subsistem dari satu sistem pendidikan nasional. Ibarat dalam sistem
keluarga di rumah tangga, anak adalah subsistem dalam keluarga. Namun jika anak
tidak berkesempatan hidup dengan jati dirinya sebagai suatu sistem tersendiri,
anak tidak akan pernah mampu memberikan kontribusi yang bermakna bagi
keluarganya. Justru kemandirian anak dan sukses kehidupannya di luar keluarga
ibu bapaknya, mereka makin berdaya mengharumkan sistem keluarganya
Vis
Misi Gresik baru yang berisi mewujudkan Gresik Baru yang mandiri, Sejahtera,
Berdaya saing dan berkemajuan berlandaskan Akhlakul Karimah, dimana ada program
Nawa Karsa 9 Navigasi Perubahan, Nawa Karsa 6 Gresik Cerdas (Pendidikan Muran
Berkualitas) point nomor 5 yaitu meningkatkan potensi serta infrastruktur
Pendidikan di Pulau Bawean, sebagai rintisan Pulau pendidikan. Program tersebut
menjadi banyak pertayaan dikalangan pendidik dan tokoh Pendidikan di pulau
Bawean, kosep seperti apa yang di inginkan oleh Pemerintahan Gresik Baru untuk
Pulau Bawean.
Sedikit
penulis ingin mengulas tentang Pendidikan di Bawean. Dari data yang di dapat
penulis Jumlah Lembaga Pendidikan formal untuk tingkat TK/RA berjumlah kurang
ebih 80 lembaga, Tingat SD/MI kurang lebih 115, SMP/MTs kurang lebih 40, dan
untuk SMA/MA/SMK kurang lebih 21 lembaga. Lembaga tersebut tersebar di dua
kecamatan, yaitu Kecamatan Sangkapura dan Kecamatan Tambak. Lokasi Lembaga
tersebut banyak yang berdekatan, dan semakin banyaknya Lembaga Pendidikan yang
mendapatkan izin mendirikan sekolah/madrasah menjadikan tidak seimbang antara
Lembaga yang satu dengan yang lain, hal ini menjadi hal yang sangat penting
bagi setiap Lembaga Pendidikan untuk meningkatkan kualitas baik bidang akademik
maupun non akademik. Hal ini juga yang nantinya akan menjadikan setiap Lembaga
Pendidikan untuk mampu bersaing dan menunjukkan kelebihan dari masing masing
Lembaga.
Harapan
penulis untuk Bawean pulau Pendidikan adalah
Pendidikan
Berbasis Masyarakat (Community based education)
Sesuai dengan
tuntutan masyarakat demokrasi, maka masyarakat harus ikut serta secara aktif di
dalam menyelenggarakan pendidikannya. Pendidikan berbasis masyarakat bukanlah
hal baru di Indonesia karena telah diterapkan ratusan tahun yang lalu melalui
sistem pendidikan yang disebut pesantren. Pendidikan berbasis masyarakat secara
jelas ditegaskan dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional BAB XV pada bagian dua, Pasal 55, (1) Masyarakat berhak
menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan
nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk
kepentingan masyarakat, (2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat
mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta
manajemen dan pendanannya sesuai dengan standar nasional pendidikan, (3) Dana
penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (4)
Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi
dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah, dan (5) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Dari pasal
ini, terlihat bahwa pendidikan berbasis masyarakat dapat diselenggarakan dalam
jalur formal ataupun nonformal, serta dasar dari pendidikan berbasis masyarakat
adalah kebutuhan dan kondisi masyarakat, serta masyarakat diberi kewenangan
yang luas untuk mengelolanya. Oleh karena itu, dalam menyelenggarakannya perlu
memerhatikan tujuan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat. Tujuan
pendidikan nonformal berbasis masyarakat dapat mengarah pada isu-isu masyarakat
yang khusus seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan
sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan, politik dan kewarganegaraan,
pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serta
korban narkotika, AIDS dan sejenisnya.
Jika dilihat
dari kondisi masyarakat Bawean Pendidikan berbasis Masyarakat ini jika di
terapkan akan muncul karakter masyarakat Bawean pada zaman dahulu, seperti
mengaji al-qur’an di langar (mushollah), sebelum mengaji ustad atau kiai yang
mengajari ngaji meminta untuk membantu membersihkan rumah dan membantu berkebun
atau sejenisnya. Jiak diterapkan di Lembaga Pendidikan formal saat ini bisa
dimasukkan ke kegiatan pembiasaan di sekolah atau di madrasah, missal
pembiasaan membaca alqur’an setiap hari, pembiasaan membaca kitab satu minggu
sekali, piket kebersihan dan lain sebagainya.
Mengusung
Nilai Budaya Lokal
perbedaan
dalam hal budaya, adat istiadat, kebiasaan, maupun faktor geografis menjadi
salah satu harapan bagi masyarakat Bawean untuk mengusung Nilai Budaya Lokal
untuk dimunculkan di setiap Lembaga Pendidikan. Kurikulum Merdeka sangat ideal
untuk diterapkan di Bawean, mengingat Pulau Bawean ini mempunyai perbedaan
dalam hal budaya, adat istiadat, kebiasaan, maupun faktor geografis. Suksesnya
pelaksanaan kurikulum ini terletak kepada bagaimana upaya pihak terkait seperti
kementerian mensosialisasikan kurikulum Merdeka secara tuntas. Artinya sebelum
mencoba paling tidak pembelajar dibekali dengan pemahaman yang tuntas dan
menyeluruh mengenai kurikulum ini. Nantinya tidak akan terjadi kekacauan dalam
pelaksanaanya di lapangan.
Kurikulum
ini memiliki pendekatan budaya di dalamnya. Kurikulum Merdeka "ramah"
dengan budaya lokal, karena berbasis proyek sesuai kondisi di masing-masing
lembaga Pendidikan. Mengingat bahwa Indonesia memiliki latar belakang Agama,
Budaya, dan Bahasa yang berbeda, kurikulum Merdeka tidak akan terasa asing,
karena dapat disesuaikan dengan latar belakang pelaku Pendidikan di tiap-tiap
daerah.
Apabila
kita kaitkan dengan teori Pendidikan, kurikulum Merdeka merupakan kurikulum yang
berbasis budaya. Sebuah pendekatan berbasis budaya yang akrab dengan
pembelajar. Pendekatan ini pada awal '90an sebenarnya sudah diperkenalkan oleh
seseorang Bernama Gloria Ladson Billing di Amerika dengan nama Culturally
Relevant Pedagogy (CRP). CRP adalah sebuah pandangan filosofis melalui
pendekatan dalam pembelajaran yang menitikberatkan kepada keberhasilan akademik
dan personal pembelajar sebagai makhluk individu dan sosial. Pendekatan ini
memastikan keterlibatan pembelajar dalam kurikulum dan pembelajaran secara
menyeluruh, namun tidak meninggalkan pengalaman, identitas, dan sikap kritis
mereka. CRP terdiri dari tiga pilar fundamental yaitu pencapaian akademik,
kompetensi budaya, dan kesadaran sisio politik.
Disini,
bagaimana para pelaku Pendidikan di lapangan dapat mengintegrasikan
konsep-konsep dan keanekaragaman nilai-nilai lokal di dalam proses belajar dan
pembelajaran. Pelaku Pendidikan tentu lebih mengenal dan lebih paham situasi
dan kondisi yang ada di masing-masing daerah, sehingga punya peluang yang besar
untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sehingga Ketika ada wisatawan domestic
menginginkan budaya Bawean akan tampak di salah satu daerah sesuai dengan
budaya dareah tersebut
Tantangan
Kualitas pendidik masih rendah
Banyak di kalangan guru dan dosen masih belum mampu
mendudukkan dirinya sebagai pengelola proses pembelajaran (manager),
menunjukkan tujuan pembelajaran (director), mengorganisasikan kegiatan
pembelajaran (koordinator), mengkomunikasikan siswa dengan berbagai sumber belajar
(komunikator), menyediakan dan memberikan kemudahan-kemudahan belajar
(fasilitator), dan memberikan dorongan belajar (stimulator). Namun kebanyakan
masih menganggap hanya gurulah yang menjadi sumber belajar tunggal (otoriter)
yang harus didengar, tidak ada teori lain yang boleh diucapkan selain teori
yang diberikannya.
Kondisi Sarana Pendukung Pendidikan dan
insfrastruktur
Sarana
pendukung di setiap Lembaga Pendidikan sangatlah penting untuk tercapainya
tujuan Pendidikan, tidak jarang di temukan masih ada Lembaga Pendidikan yang
kekurangan ruangan, bangku dan kursi, peralatan tulis, dan buku pegangan
peserta didik yang masih kurang. Selain itu lokasi Lembaga Pendidikan yang jauh
terkadang harus melewati jalan yang terjal dan rusak, apalagi saat musim
penghujan, jaringan internet yang kurang stabil dan ada juga yang tidak
terjangkau oleh jaringan internet menjadi salah satu tantangan untuk
terwujudnya Bawean Pulau Pendidikan.
Dukungan Masyarakat
Masyarakat
dalam hal ini bukan hanya orang tua, akan tetapi lingkungan masyarakat yang
luas, dimana untuk mewujudkan suatu program yang bersifat kedaerahan, haruslah
di dukung dengan maksimal oleh semua pihak, baik itu Lembaga Pendidikan, dinas
terkait, orang tua dan juga masyarakat umum.
Berdasarkan
beberapa permasalahan yang telah dijelaskan, ada beberapa solusi pemecahan yang
dapat dilakukan guna memenuhi harapan masyarakat dalam bidang pendidikan yaitu:
1.
Guru harus sebagai “role model”: artinya
pembentukan karakter pada diri siswa sesungguhnya berlangsung bukan saja
melalui setiap kata yang keluar dari ucapan si guru, namun justru tumbuh
melalui proses interaksi bagaimana mereka diperlakukan dan diajar oleh sang
guru di kelas.
2.
Meningkatkan
profesionalisme guru melalui kegiatan pendidikan latihan, sehingga guru mampu
sebagai agent of change melalui proses pembelajaran.
3.
Mengembangkan Pendidikan
Berbsais masyarakat dengan mengusung nilai budaya local dengan dukungan semua
pihak.
Ketika SDM
maupun fasilitas sudah memenuhi standart untuk dijadikan pulau berbasis Pendidikan
(dengan berbagai kehasan tersendiri), ini akan menjadi daya Tarik tersendiri
bagi pelajar luar Bawean untuk belajar di Pulau Bawean, sehingga akan membuat
pertukaran budaya bagi siswa di Bawean,
karena mereka yang belajar di Bawen akan membawa budaya dari tempat asalnya
sehingga khasanah pembelajar dan pertukaran budaya akan terjadi. Selain itu
juga akan ada semangat berpacu bagi pelajar ketika latar belakang temen mereka
berasal dari berbagai daerah. Tidak hanya dalam rumpun lokal bawean saja.
Secara ekonomi juga akan berdampak bagus karena akan ada rumah kos ataupun
asrama bagi .pelajar yang dari luar
Bawean.
Dan yang
tidak kalah penting adalah bagaimana kesejahteraan Pendidik juga diperhatikan,
agar semua program untuk Bawean pulau Pendidikan bisa terwujud dengan nyata dan
bisa di rasakan oleh masyarakat, bukan hanya sebuah program yang belum bisa di
munculkan dan dirasakan oleh Pendidikan Bawean
Demikian sedikit tulisan dari kami
sebagai masukan untuk mewujudkan Bawean sebagai Pulau Pendidikan.
Posting Komentar